Transformasi toleransi mesti digerakkan oleh semua pihak, terlebih lagi, mahasiswa.

Kebhinekaan untuk Perdamaian


#Tulisan 1 Mei 2017 di Warkop Minasatene

Pada dasarnya kebhinekaan dianggap sebagai kekuatan pemersatu bangsa dan mengandung makna substantif untuk di implementasikan dalam kehidupan kita. Melihat keadaan negeri kita yang menjunjung tinggi demokrasi dan Pancasila, tentunya tidak terlepas dengan nilai-nilai luhur yang ada di dalamnya.

Kesyukuran akan adanya keberagamaan atau kemajemukan yang ada di Indonesia adalah nikmat tersendiri yang patut kita rasakan dengan indah. Tentunya hal itu tidak terlepas dengan adanya alur statis dan dinamis yang masih bergulat di Nusantara ini.

Para pendiri bangsa memberikan kita rancangan untuk bersama-sama mempersatukan kebhinekaan kita yang dituangkan dalam poin-poin agar bangsa terakomodir dari ujung Indonesia ke pusat dan ujung lainnya. Untuk itu perlu adanya penjabaran yang nyata untuk mewujudkan rancangan-rancangan tersebut agar kita mampu merawat kebhinekaan bangsa ini dan menyuarakan perdamaian terhadap konsep yang indah.

Berkenaan dengan hal tersebut maka patokan terhadap kekuatan pemersatu bangsa bukan sekedar simbol atau tanda saja yang diwujudkan dalam bentuk narasi belaka. Melainkan harus dipandang sebagai suatu hal yang diamati dan dinilai sebagai respon atau tingkah laku masyarakat yang menjadi subjek dalam menjalankan rancangan-rancangan dari pendiri bangsa ini.

Konsep yang kemudian harus dipandang adalah menjadikan hakikat dan nilai kebhinekaan untuk mempersatukan dan menyuarakan perdamaian di Indonesia. Adapun substansi dari faktor pemersatu harus kita lihat dari faktor konflik yang hadir dan penanganannya sebagai bentuk preventif terhadap problematika umat.

Sebagai contoh bahwa adanya gesekan di negeri ini yang ada di  Papua karena kurangya respon cepat dari penegak hukum di pemerintahan. Melihat sebelumnya ada surat resmi di edarkan Gidi dengan isi bahwasanya wilayah Toli melarang hari raya Idul Fitri dan juga melarang muslimah berjilbab di seluruh kabupaten Tolikara. Seharusnya pemerintah sudah bergerak lebih awal untuk mencegah yang kemungkinan terjadi karena bersifat intoleran bagi umat muslim yang ada disana. Pihak berwenang harus menjadi ksatria untuk menyelesaikan perkara yang  menimbulkan reaksi keras dan berujung anarkis.

Itulah kemudian beberapa realitas yang tidak diutamakan bangsa ini. Telah melihat terjadi peristiwa semacam itu lantas tidak di selesaikan dengan tegas lewat hukum dan duduk bersama. Jalinan hubungan emosional yang sangat minim tidak dijadikan peluang oleh pihak terkait untuk memperbaiki hal itu. Tampa kita sadari bahwa sifat individualis nampaknya semakin mengikis filosofi dari kebhinekaan kita.

Sosialisasi yang kurang untuk menyadarkan masyarakat akan pentingya kebhinekaan semakin mengurangi pendekatan kearah perdamaian. Berdalih dari peristiwa tersebut, kita juga bisa melihat pergerakan kaum oposisi dalam hal ini propokator yang muncul di masyarakat karena banyaknya celah yang membuat paradigma berpikir masyarakat berubah.

Media sosial yang kemudian menjadi jendela masuknya paham radikal dilakukan oleh sebuah kelompok terorganisir dengan baik dalam mejalankan misinya untuk memecahkan keberagaman di negeri ini sangatlah mudah. Sepertinya badan yang harusnya menfilter tidak peka dan tanggap menanggapi hal tersebut. Padahal jika di analisis dari dampak, dengan mudahnya untuk mendoktrin manusia lewat sosial media. Apalagi sekarang sudah menjadi kebutuhan pokok setiap kalangan di dunia ini.

Sama halnya dengan adanya aksi salah satu pejabat yang dirasa menyindir suatu agama sehingga menjadi pembahasan publik. Semua itu tidak terlepas akan sosial media yang membawa frame Komersialisasi dan hanya akan merusak kepribadian seseorang  jika disalahgunakan yakni tidak bijak dalam pemanfaatannya.

Semua itu adalah sebagian dari inti permasalahan yang menimbulkan keretakan dan pada akhirnya kembali kepada kebhinekaan yang tidak dipandang lagi. Kearifan lokal negeri ini adalah pluralitas yakni kemajemukan atau keberagaman bukan sebagai pemaksaan kehendak. Penegakan akan adanya persamaan di depan hukum harusnya menjadi pijakan bahwa keadilan yang ada adalah kesetaraan terhadap ras,agama,suku,budaya dan keberagaman lainnya.

Berakar dari hal tersebut, dapat kita rujuki dengan 9 niilai utama Gus Dur yaitu Ketauhidan, Kemanusiaan, Keadilan, Kesetaraan, Pembebasan, Kesederhanaan, Persaudaraan, Kesatriaan, dan Kearifan lokal. Alasan mutlak menjadikannya pendamping dari rancangan pendiri bangsa karena substansi yang jelas dan mendukung kebhinekaan negeri ini. pluralitas yang sudah ada sejak dulu dan tentunya harus disadari bersama.

Olehnya itu transformasi untuk toleransi senantiasa harus di gerakkan oleh semua pihak khususunya mahasiswa yang menjadi agen perubahan dan menduduki posisi middle class. Mahasiswa wajib mengontrol penegakan hukum apabila terjadi perpecahan diantara kaum sehingga secara persuasif pemerintah mampu menangani ketegangan yang ada. Hal yang paling mendasar wajib dilakukan senantiasa belajar sesehingga apa yang seharusnya kita lakukan tidak mengikuti kebanyakan orang lakukan yang sifatnya mengikis nilai toleransi.

Upaya yang dimaksudkan dalam bentuk aksi yang rasional seperti aksi damai dan deskriptif secara tertulis karena merupakan tanggung jawab moril untuk menyuarakan perdamaian. Kesadaran sosial yang kemudian hadir harus kita tularkan kepada masyarakat bahwa untuk merawat kebhinekaan, tentunya kita harus mematuhi norma yang ada seperti norma kesopanan,norma asusila, norma hukum dan norma agama. Ketika kita telah mengikuti aturan dasar maka secara tidak langsung kita turut menjaga marwah dari negeri ini.

Sasaran yang paling mendasar adalah di lingkup pendidikan seperti sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia. Mendorong agar terciptanya kebhinekaan yang sejati dari lingkup itu akan membantu pola pikir dasar dari generasi penerus bangsa. Ketika prinsip persuasif tersebut telah di implementasikan, maka sisi sensitif tiap kelompok masyarakat akan terjalin baik dengan kelompok lainnya.

Post a Comment