Transformasi toleransi mesti digerakkan oleh semua pihak, terlebih lagi, mahasiswa.

Rekonstruksi Nalar Kritis Mahasiswa


#Tulisan 1 Januari 2017 di Kamar Kos

Tingkat kesadaran seseorang ditentukan oleh keilmuan yang dimilikinya. Beberapa yang perlu diketahui kebenarannya adalah mendengarkan dan melihat sesuatu yang masuk dalam akal manusia tapi itu punya batasan yang rasional.

Ketika menginjak dunia kampus, ternyata aku menemukan mutiara yang unik menurutku sehingga waktu kuluangkan lebih banyak dalam menggelutinya. Tiada lain adalah kutemukan wadah belajar yang amat berbeda dengan yang lainnya. Sebut saja wadah itu merangsang pikiranku untuk berpikir kritis. 

Sebagai contoh memahami filosofi kata demi kata berdasarkan batasannya. Membahas hal-hal yang jarang di bahas oleh kalangan mahasiswa pada umumnya membuat diriku saat ini berbeda pula dengan kerabatku yang lain apalagi di kelas.

Perbedaan yang muncul adalah cara berpikir yang ilmiah dan tentunya itu adalah kekuatan kritis yang mulai kumiliki saat ini. Misalnya saja ketika berdiskusi dalam kelas tentang materi kuliah. Dalam situasi tersebut ternyata aku begitu berbeda dari yang lainya dalam penyampain gagasan dan daya serap. Ketika kusimak dialog kerabatku ternyata banyak sekali yang mengganjal dan mengambang di pikiranku. Itu juga terjadi ketika aku berbicara, teryata teman yang lain setelah diskusi menyampaikan aku berpikir kritis tadinya.

Tapi kupikir lagi kalau memang aku disebut orang yang kritis, lantas yang menyampaikan kepadaku apakah dia tidak kritis? Nah, muncul pertanyaan yang mendasar namun membingungkan. Nalar kritis yang dimaksud ketika berusaha mengetahui kebenaran dan berusaha membenarkan yang dipahaminya, itulah yang disebut nalar kritis menurutku. 

Memiliki nalar kritis dan tentunya berbeda dari yang lainnya terkadang membuat kita tersudutkan sebagai kaum minoritas. Hal itu tak bisa dipungkiri ketika kita berada dalam situasi yang kujelaskan tadi. Namun disisi lain, rasa bangga karena mampu mengeluarkan apa yang kita sampaikan akan menjadi motivasi tersendiri untuk kita yang memilikinya.

Sebenarnya tidak ada batasan bahwa kita cuma bisa belajar di dalam kampus saja, khususnya disiplin ilmu jurusan yang kita geluti. Justru ketika mempelajari pengetahuan yang lain, secara tidak langsung daya nalar kita akan semakin luas. 

Contonhya saja ketika dosen menjelaskan tentang Patogenitas penyakit Malaria dalam tubuh kita. Dengan nalar kritis akan muncul pertanyaan yang banyak dalam akal kita, misal patogenitas itu apa? asalnya malaria darimana? siapa yang munculkan? Apa hubungannya dengan ini? Demikian yang biasanya muncul dan tentunya membantu kita untuk memahami pokok bahasan secara kompleks.

Memahami sesuatu secara kompleks akan membantu dalam penemuan identitas dan jati diri kita sebagai manusia. Pentingya nalar kritis bagi mahasiswa tidak sebanding dengan aturan yang ada sekarang. Di kampusku saja aturannya sangat ketat, mulai dari berpakain, waktu belajar hingga, aroma pakaian pun ada aturannya. Menurutku itu merupakan unsur yang akan membatasi penerapan daya nalar kritis mahasiswa.

Mahasiswa akan tergulung dalam aturan dan susah untuk mengeksploitasi ilmu yang digelutinya apalagi untuk paham secara kompleks. Menurutku, nalar kritis sebagai unsur memahami hal secara detail bisa didapatkan dengan cara membaca buku, mebiasakan berdiskusi dengan pakar dan teman sejawat, dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari. 

Yang paling penting adalah jangan merasa puas dengan ilmu pengetahuan yang didapatkan saat itu, tapi terus mendalaminya secara kompleks dan juga berbagi ilmu dengan sesama secara bertahap sesuai kapasitas yang kita miliki.

Posting Komentar