Sudah lama rasanya aku ternina bobokkan dengan cita dimuka dirinya. Meski hanya menerka secara diam-diam tapi inilah kenyataan ketika wadah terlalu kaku untuk ditempati berkarya. Tak hanya materil tapi juga emosional yang nyatanya sulit untuk berkompromi jika dikaitkan dengan segondok tanggung jawab yang ada di pundakku.
Omongan, cita-cita nyatanya tak sejalan dengan ekspektasi dari catatanku dan alhasil nanti dalam waktu dekat ini, aku akan diterpa angin segar berupa kritikan oleh mereka yang cinta akan perubahan, yang haus akan karya-karya diatas dahulunya. Memikirkan itu tentu butuh pengorbanan namun cerita menunjukkan waktu masih banyak untuk dilalui, menunjukkan hasil karya imajinasi si pemuda lugu.
Dalam ruang kecil namun sepi adalah suatu berkah tersendiri untuk dinikmati. Hanyalah suara mesin berputar yang menyejukkan tubuh ini, bukan mereka dengan suhu praktis yang bisa dikendalikan. Meski begitu, aku masih bersyukur akan nikmatnya yang tak henti-hentinya untuk berputar menjadi penyejukku.Bisa dikatakan nyamuk tak berani memangsaku, benar kuat dayanya untum melawan nyamuk yang berusaha mendarat di kulitku.
Fokus dari tulisanku adalah esensi dari nikmatnya suasana sepi untuk berpikir keras menyelesaikan rancangan untuk wadah yang masih kaku ini. Telah kubaca pula buku berkenaan prilaku individu untuk menyelesaikan perkara ini. Akan tetapi masih terasa dungu untuk diriku dalam menganalisis. Wajar jika wadah masih kaku, perancangnya saja masih sulit dalam merancang tiap kebijakan yang ada.
Tidak peduli seberapa keras bunyi dari organ ini terhadap masalah logistik. Tentu yang terpenting adalah menyelesaikan perkara ini secepat mungkin lalu menjabarkannya dihadapan petua-petua aktivis. Terima tidaknya konsep yang aku sampaikan merupakan bukti manusia sepertiku membutuhkan kritikan. Keyakinanku memang menjadi pemikir tak serta merta bersifat egois dalam mengaplikasikannya karena kita butuh masukan untuk memperbaikinya.
Aku butuh referensi jelas dan banyak untuk saat ini, tapi dimana dan dengan siapa? Ini yang kupikirkan sejak dulu, tapi bung Iwan berkata semua termasuk benda mati adalah tempat bergurumu. Jadi bagaimana dengan batu, feses (tai) ataupun bunga dan sebagainya? Apakah mampu untuk di jadikan referensi dalam kasus yang kualami ini. Tentunya yah, dia bisa jadi referensi asalkan diriku berkata bisa.
Statement seperti diatas yang harus dipikirkan, baik sebagai acuan dasar ataupun acuan tambahan dalam setiap pertimbangan dalam kehidupan. Meskipun sajaknya hanya menekan pada pertanyaan, tapi itu adalah karunia ilmu pengetahuan untuk bersikap bijaksana. Pokoknya semua bisa jadi bahan, apalagi dengan menganalisis para tokoh dalam masing- masing bidangnya seperti Gusdur yang mampu menjadi sosok dihargai oleh kaum Israel, Ki Hajar Dewantata yang pandai dalam memanusiakan akal manusia, juga Soekarno dengan jiwa Fatamorgananya. Tentu saja bisa diajadikan acuan melihat zaman ini.
Pokok dari tulisanku ini memang memaksa kita untuk berpikir keras dalam menganalisa setiap kata, tapi percayalah jika memang ini hanya sebuah spam maka cerita kedepan tidak akan menjadi sejarah seketika diri sebagai anda bersikap apatis untuk menerjemahkannya. Salam cerita dari pemikir keras sepertiku.