Menginjak dunia perguruan tinggi, tentunya sangat baru untuk dipahami. Suasana yang begitu berbeda dengan masa SMA terkadang adalah tantangan besar untuk mahasiswa baru. Tentunya akan merasakan pergelaran ospek atau masa orientasi di masing-masing kampus dengan metode yang berbeda-beda. Ada yang menggunakan cara keras mendidik dan ada pula yang mengedepankan aspek kognitifnya. Pokoknya macam-macam tergantung era dan pola pikir dari pekerjanya.
Bukan suatu keanehan jika kita melihat atribut-atribut yang begitu kontroversial menurutku. Memakai topi hitam dengan kepala yang gundul dan pita diikat pada lengan kiri dan kanan menjadi ciri tersendiri di Indonesiaku ini. Banyak kemudian yang hanya menghiraukan hal tersebut tampa berpikir secara kritis dalam kesadarannya. Untuk apa sistem ini? Apa dampak dan manfaatnya untuk jangka panjang? Yah sangat minim yang bertanya seperti itu. Keadaan ini menjelaskan kondisi krisis amoral bangsa ini menurutku jika tidak ditempatkan dalam ranahnya.
Melihat hal itu layaknya seremonial amoral dan tidak substantif membuat beberapa aktivis moral tergerak jiwanya untuk bersama memperbaiki sistem tersebut, namun kandas di jalan. Lah kenapa kandas mas, orang usaha kok terbawa arus. Begitulah kondisi segelintir aktor yang kurang melihat luasnya dunia ini.
Orientasi yang mengedepankan amoralitas akan merusak karakter dan kognisi dari penerus bangsa ini. Wajar saja jika pihak pendidikan dan kebudayaan mengeluarkan surat edaran dengan dalih masa orientasi tampa perpeloncoan dan alhasil seperti kentut terbawa angin belaka.
Lemahnya pengawasan akan kurangya elektabilitas menjadi motif dari semua itu. Pada akhirnya mahasiswa dituntut dengan kompetensi akademiknya semata tampa berpikir sosial dan kritis. Pada akhirnya berdampak kepada adinda yang masih dalam masa orientasi.
Berakar dari hal tersebut, perlunya penegasan identitas mahasiswa yang awalnya harus diberikan dari kakanda aktivis dan bukan sekedar ajang pamerin wajah dan bokong saja. Pamerin idcard seniornya lengkap dengan gemuruh lantunan mulut mengedepankan tingatan tampa berpikir apa yang dilontarkan.
Maka dari itu perlunya rekonstruksi orientasi mahasiswa baru sehingga seluruh indikator kognitif,paikomotor, dan afektif relevan menjadi satu untuk mahasiswa sebagai penerus aktivia kampus. Catatan penting bahwa menjadi maba tidak harus bodoh untuk dibodohi. Tapi paham akan dibodohkannya kelak dan mengantisipasinya.