Kini aku sedang beristirahat di kamar mungil tampa TV, radio atau pendingin AC dan hanya menikmati kue titipan kerabatku. Fasilitas yang konon milik puan di dilantai dua ini, memang memberikan sensasi yang berbeda jika dikaitkan dengan kasta dan status sosial. Meski begitu aku menikmatinya karena aku yakin dikamar mungilku akan muncul gelar sarjana profesional.
Perjuangan untuk itu pun aku luruskan sebagai kewajiban membahagiakan kedua orang tua, meski kabar jahitan pada tubuhku belum baik sekali tapi inilah pengabdian terbaikku padanya. Aku percaya setiap terpaan dari Tuhan memiliki cerita ikhlas dibaliknya, secara sadar ataupun tidak.
Itu keadaanku kemarin, dan kini aku bersemangat untuk fit dari keadaanku. Tiba-tiba firasat muncul menyelimuti hatiku, tak karuan, tak tenang, begitu redup hatiku tapi aku tak tahu mengapa dengan hati ini.
Berderinglah ponselku disudut kasur dengan melodi khasnya. Ada kabar tapi tak jelas, ibarat panggilan ditengah badai tapi aku tak tahu itu apa. Acuh saja dengan panggilannya. Aku mulai ke kamar mandi untuk menyikat gigi saja dan tiba keluar terdengar suara ponsel kembali. Aku sangat penasaran, alhasil ke telpon kembali untuk menanyakan perihalnya.
"Salamku, ada apa menelpon terus? Dia menjawab, tolong kamu bersiap-siap kesini (kampung) karena ada hal penting yang harus kamu ketahui dan ada mobil yang akan menjemput di depan kos mu" , desaknya padaku.
Tampa berpikir lebih jauh, akhirnya ku kemasi barang-barangku, cuma beberapa lembar pakaian dan buku bacaan di dalam koper. Sekitar 20 menit, semua tersusun rapi dan mobil pun membunyikan klaksonnya. Teeeeeet, sopirnya memanggil namaku dari bawah, ia tunggu, jawabku.
Masuk kedalam mobil dan siap berangkat menuju kampung halaman tercintaku. Pak sopir menanyakan keadaanku karena baru beberapa hari aku keluar dari perawatan rumah sakit, bagaimana kesehatanmu dik? Alhamdulillah sudah agak baikan pak, dan kemarin sudah mencoba aktif perkuliahan, jawabku dengan spontan.
Jika dihitung lamanya untuk sampai ke kampung harus menunggu hingga 6 jam waktu normal. Yah, sekarang sudah 5 jam aku di mobil ini, menikmati tidur lelahku di kursi tengah dan mendengarkan senandung pop kesukaan pak sopir. Dalam keheningan suara manusia, tiba-tiba berdering ponsel didalam tas kecilku. Siapa lagi nih, perasaanku. Ternyata dia, sepupuku yang tadi menelpon untuk ke kampung.
Ku angkat teleponnya lalu kukabarkan, aku sudah dekat sekitar 15 menit sampai di rumah. Kemudian terdengar suara tangis ditelingaku saat itu, dengan suara terbata-bata dia mengatakan kalau ayahku menunggu di rumah dari tadi. Aneh, kok menangis.
Tampa mengindahkannya, ku telpon kembali dia, kenapa , sebenarnya apa yang terjadi? Dia spontan mengatakan kalau ayahku sudah meninggal dunia dan saat itu sekitar 100 meter dari rumahku. Aku kaget dan bertanya, serius ucapku berkali-kali.
Jatuhlah ponsel dari tanganku, patah hatiku. Ya Tuhan, teriakku di dalam mobil pas sampai di depan rumah.
Aku sungguh tak percaya, kalimat tertempel di depan pagar menjelaskan ayahku meninggal dunia, ada bendera putih dan ramai memakai pakaian hitam dan juga terdengar tangisan dari kejauhan. Saat ini aku frustasi, dan tampa sadar kepalaku pusing dan tak sadarkan diri.
Ditopang masuk ke rumah tampa sadarku, tiba dari sadar aku melihat ayah terbaring tertutup kain, air mataku membasahi wajah sembari berteriak seakan tak percaya. Ayaah, kenapa meninggalkanku, ayaah! Sungguh aku kaget dan baru kurasakan aku sudah tidak bisa berpikir panjang lagi. Dia telah meninggalkan anaknya tampa pamit, aku sangat frustasi.
Rasa sakit hasil operasi ditubuhku tak terpedulikan lagi, hanya amarah, gelisah, kecewa, dan tampa sadar aku kembali pingsan. Aku tak terima dengan Tuhan, mengapa memanggil ayahku.
Bangun kembali, aku sudah lemas dengan air mata dan hanya memeluk tubuh ayahku. Sungguh aku tak tahu harus berbuat apa lagi, ibuku terus berkata sabar Nak Tuhan punya rencana lain. Orang lain di sekelilingku juga berkata demikian tapi aku tak terima dengan hal itu.
Tiba-tiba aku diangkat dan dibawa ke dalam kamar, tapi aku memberontak. Mereka berkata mayat ayahmu akan dimandikan untuk nantinya akan dimakamkan. Mendengar itu aku kembali tidak sadarkan diri. Akhirnya terbangun dari sadar, ternyata jasad sudah dimakamkan.
Sungguh aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Apa jadinya jika tampa ayah. Dia yang selalu menemaniku, dia yang selalu memberiku nasehat-nasehat dan pada dia aku melaporkan jika aku punya masalah. Sungguh aku tidak siap dengan keadaanku ini. Aku tidak siap ayahku dipanggil Tuhan.