Ini bukan peryataan sikap terkait masalah yang kuhadapi melainkan curhatan diriku yang kutuangkan dalam tulisan di blog ini. Ini juga tidak bermaksud menurunkan citra dari pihak terkait, melainkan menjelaskan bahwa aku masih loyal dan menanti kebenaran dari mulut sang pemimpi digedung bertingkat. Terlalu banyak kicauan yang tak jelas dari tuan puanku disana, tapi ini bukan permintaan kasihan dari hamba kepada wali yang menjadi pemimpinku.
Segala sesuatu yang ada di dunia ini merupakan perwujudan dari hukum alam yang masih berlaku. Aku percaya bahwa adanya kebenaran karena buah dari pemecahan kebusukan dan kata cantik muncul karena adanya kata kurang cantik (jelek). Tentunya kita harus paham maksud dari kalimat yang saat ini telah tersusun sedemikian rupa, karena perbedaan pandangan melihat susunan kalimat yang baik akan memunculkan pemikiran kritis sehingga hakekat kebenaran akan mencuak ke permukaan.
Sama halnya dengan mahasiswa yang selama ini terjaga akan dinamika kampus di seluruh pelosok Indonesiaku, dengan bangganya menjadi orang yang meremehkan kampus yang satu dengan kampus yang lainnya. Itulah kenyataanya sehingga banyak sekali dari mereka yang terfokus pada akademik tampa mengkaji kebenaran bahwa kampus yang menjadi wadah baginya benar atau tidak keunggulannya.
Tentu hal itu menjadi tanda tanya besar bagi manusia yang dalam nalurinya sebagai mahasiswa dan bukan bagi mereka yang mengaku saja tampa bukti (mahasiswa tempelan). Namun, untuk membuktikan hal tersebut ternyata kita dituntut pula untuk bersabar ketika mendapat tekanan atau reaksi dari apa yang kita lakukan. Dan itulah yang aku rasakan saat itu dan sampai kepada hari ini.
Semuanya bermula ketika redaksi LPM Intelligent menerbitkan berita di kampusku terkait fasilitas air di laboratorium kampus dan pada saat itu akulah yang menjadi repoter. Alhasil mendapat banyak respon yang dari berbagai pihak, bahkan kerabat yang dulu senantiasa tertawa bersama dan kini menyudutkanku.
Berita tersebut menjadi topik panas dikalangan civitas akademika khususnya kampusku melalui akun resmi Ig LPM Intelligent. Awalnya aku hanya berpikir bahwa berita tersebut tidak akan mendapat respon dari khalayak karena berita yang muncul biasanya tidak pernah digubris atau diperhitungkan oleh mahasiswa. Ternyata menjadi perbincangan panas dari kalangan mahasiswa dan sampai ke telinga birokrat kampus.
Sungguh ketika memperhatikan banyaknya komentar dari pembaca, ternyata yang banyak berkomentar adalah kerabatku sendiri dari jurusan yang sama. Memang sih, kalau dipikir dampak dari berita ini akan merusak namaku di kalangan mahasiswa apalagi dosen tetapi aku tetap konsisten pada idealisme dan tupoksi sebagai pers mahasiswa yang harus mewartakan sesuai dengan realita demi perbaikan kesejahteraan bersama.
Setelah 2 hari pemberitaan, ternyata pihak kemahasiswaan jurusan melayangkan panggilan kepadaku. Salah satu faktor yang membuat pemberitaan ini besar karena dalam waktu dekat itu, akan ada tim akreditasi di kampus sehingga membuat birokrat ketakutan.
Akhirnya dengan keberanian aku masuk ke ruangannya dan dipersilhkan duduk oleh bapak kemahasiswaan. Kalimat pertama yang terdengar adalah "Saya sangat kecewa dengan kamu, bisa-bisanya kamu posting hal seperti itu", kemudian kusampaikan bahwa pemberitaan ini adalah kebenaran dan redaksi kami telah mengolahnya dengan bijak.
Sebenarnya ada perasaan takut ketika aku berhadapan langsung dan berbicara dengannya karena kali pertama aku berada dalam masalah seperti ini. Tidak lain terkait nilai akademik yang akan berdampak kepadaku.
Maka dari itu aku menyampaikan kepadanya "Mohon maaf sekali lagi pak, saya diundang masuk keruangan bapak atas nama lembaga dan bukan sebagai mahasiswa an*lis, takutnya hal ini dikaitkan dengan akademik saya", kemudian beliau berkata "Tentu akan berdampak dengan akademikmu karena jurusanmu yang terkena efek pemberitaan LPM mu". Mendengar ucapan tersebut kukatakan, "Mohon maaf sekali lagi pak, saya disini diundang atas nama lembaga bukan pribadi, jika memang berita kami tidak sesuai realita maka bapak berhak untuk menggunakan hak bicara dan kami siap memfasilitasi jurusan untuk mengadakan konsolidasi", lantas beliau menjawab tidak usaha karena tidak ada gunanya.
Saat itu aku kaget, dan yang muncul dalam hatiku bahwa pihak kemahasiswaan teryata tidak paham alur dari lembaga kami. Sekitar 30 menit aku berdialog dengannya dan hal yang paling penting dari pertemuan tersebut bahwa pihak kemahasiswaan tidak membaca berita yang terbit melainkan hanya mendengar penyampaian yang tidak jelas dari pihak mahasiswa dan dosen. Sangat lucu, dan tidak rasional.
Yah, kejadian itu semakin mendapat respon dari banyak kalangan. Semua dosen dari berbagai jurusan mendengar berita itu. Ketika itu, yang tergabung dalam LPM Intelligent dari jurusanku ada 2 orang dan akhirnya kerabatku mengundurkan diri karena merasa tertekan dari pihak dosen dan teman-temannya. Kalau disimpulkan, tidak ada mahasiswa yang mendukung pergerakanku, bahkan ada dari mereka mengolok-olokku dan mendatangiku untuk memukul.
Tidak ada yang memberikan dukungan moral padahal yang kami beritakan akan berdampak baik kepada mereka juga. Mereka tidak akan susah lagi untuk mengangkat air masuk ke laboratorium, tetapi mereka keliru dan hanya mencemooh. Memang banyak sekali tekanan dari teman-teman untuk menghapus berita tersebut tapi dengan perasionalan aku menolak dan tetap pada idealisme kami.
Pada hari ke 4, setelah berita ini terbit ternyata teman-teman LPM di Makassar juga membaca dan memberikan respon terkait masalah yang kami hadapi. Bahkan sekjend PPMI DK Makassar yang saat ini menjabat sebagai sekjen PPMI Nasional turut berkomentar. Ada juga dari PU LPM Kertas dan Estetika hingga wartawan media luar yang turut berkomentar.
Membaca komentar dari teman-teman LPM membuat aku semakin konsisten dengan identitas sebagai Lembaga Pers Mahasiswa. Baru kali ini aku merasakan sebagai minoritas apalagi di kampus yang digodok untuk paham dengan akademiknya dan dipenjara oleh para birokratnya.
Sangat mencengangkan ketika kampus yang notabene kesehatan tetapi menerima kebenaran saja sulit. Aku bukanlah mahasiswa yang tidak mencintai kampus sendiri melainkan mahasiswa yang mencintai kampus sepenuh hati. Ketika cintaku dirusak oleh mereka yang tidak mencintai kampus maka aku akan melawannya.
Ketika ada hal yang harusnya menjadi hak sebagai mahasiswa maka aku akan menuntutnya, namun ketika kewajibanku adalah menguasasi kompetensi disiplin ilmu maka aku akan melakukannya. Semua itu hanyalah tuntutan hak dan kewajiban supaya kampus yang kita damba-dambakan menjadi kampus yang sehat dan terbukti kesehatannya.