Malam suntuk bagi mereka yang malas bukan untuk aku dan dia si pencari Tuhan. Impian itu mengantarku di sebuah tempat dimana nyamuk fokus menikmati manisnya darah pendatang, sementara tanganku masih berjinjit menjejaki keybord satu demi satu seolah tak profesional dalam mengetik. Setelah menekan ENTER, bersiaplah dia dengan dagu berjenggut, perut semprulnya. Kupandangi dari kejauhan menuju kedepanku.
Pikiranku beberapa detik berontak, jangan dululah kan mau lama disini, sayang kalau kopinya mendingin Tiba-tiba langkah sepatunya seirama dengan degup jantungku, suara tok si pantovel mirip paskibraka menuju ke arah 90 derajat. Jarak 1 meter spontan kuucap "Jangan dulu mas, sebentar saja yah", dia kaget lalu berkata, bukan kamu tapi dia. Aku berbalik kekanan, oh ada cewek toh di meja sebelah.
ini mas, kalau masih pahit sebut nama Rudding saja |
Pikirku tidak singgah dulu di mejaku, terdiam sejenak "Aku ingat, kemarin aku sudah bilang sama mas, jangan nanya aku pesen apa, nanti bakal ngomong juga kok".
Seperempat jam berselancar di Youtube, mulai berdahaga, lalu kupanggil si Mas. Seketika dia membawakan kopi hitam, sontak, kok tau mas, "kan modelanmu cuma bisa opsi ini". Rasanya mau kukibas wajahnya tapi janganlah nanti bikin rusuh.
Warung Kopi ini namanya Minasatene, tidak tahu artinya tapi disini yang pas. Kenapa? Karena adukan kopi Daeng Bebe (sapaanya) seirama dengan bahasa-bahasa kalbu yang keluar melalui bibir para pencari Tuhan, katanya.
Terkadang ngopi sampai dua cangkir ukuran medium. Ada juga Cangkir ukuran besar, sehingga cukup memesan sekali saja.
Tak ada aliran ataukah isme-isme disini, walaupun hanya sendirian saja tetapi banyak fenomena menarik di tempat ini. Tapi jika berbicara tentang hati dan bagaimana membersihkan hati semuanya jadi satu. Dan juga tak ada guru, semuanya bisa jadi guru, langsung diam saja mendengarkan baik-baik sebab semua bahasa yang keluar merupakan pengalaman diri yang diungkapkan dengan jujur, tua atau muda tak masalah, sebab yang disebut tua adalah pengalaman dan tingkat pengenalan dirinya. Kebetulan yang biasa nongkrong disini bapak-bapak motor dengan bodi semprul lebih gede daripada si mas pelayan.
Entah kopinya, isi pembicaraan yang kudengarkan ataukah suasana warung kopi yang membuat tempat ini menjadi nyaman ibarat magnet bagi diri untuk selalu singgah berteduh, atau boleh jadi karena kolaborasi ketiganya. Saya mencoba menganalogikan adukan kopi Dg Bebe ini seumpama jiwa yang sedang bergejolak. Agar kopi dan gula jadi satu kita harus mengaduknya sebab jika tidak diaduk maka rasanya tidak akan nikmat. Bahasa adalah alat untuk mengaduk, dia berasal dari pikiran yang bermacam-macam. gula dan kopi, kita ibaratkan sebagai pujian dan kritikan, bisa juga berupa dzikir dan fikir.
Anggaplah air yang menyatukan keduanya sebagai hikmah yang merupakan bagian dari semua pasangan pasangan itu. Dengan bahasa maka ilmu itu diaduk kedalam hati dan fikiran berputar terus, kemudian adukannya dilepas dan membiarkan berputar dengan sendirinya, sehingga walau tanpa bahasa dan dalam diam hasil adukan itu masih tetap bergejolak didalam jiwa.
Hingga pada akhirnya putaran gula dan kopi dalam air menjadi satu dan tenang, itulah kesimpulan dimana hati dan fikiran bersatu. Pada saat itu kopi siap di nikmati, seperti halnya hikmah yang siap untuk di seduh oleh jiwa.. Nikmat. Dan pasti akan selalu nikmat, yok sruput!
Demikian cerita ngawur tak berarah, maklum lagi latihan menulis.