Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan nya, begitulah kata – kata yang sangat membuat hati tenang, damai, aman dan sentosa apabila kita mendengar kata – kata itu. Kata – kata yang mempunyai harapan akan semangat kepahlawanan yang tidak pernah pudar dan lekang di telan zaman.Para pahlawan, mereka adalah pejuang sejati yang mempunyai jiwa patriotisme yang tinggi dalam membela tanah tumpah darah, tidak pernah sedikit pun terbenak dalam diri mereka akan sifat egosentris, mereka selalu berpikir kritis, dan mampu mengimplementasikan pemikiran mereka kedalam perbuatan mereka. Tidak sedikit pahlawan di Indonesia yang gugur di medan peperangan karena membela tanah air tercinta.
Pahlawan Indonesia seperti Jend. Ahmad Yani, A.H Nasution, Letkol Untung, S Parman, Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, Teuku Chik Ditiro dan lain – lain, mereka itu adalah putra dari bangsa Indonesia. Mereka melakukan perjuangan dengan hati, mereka sangat kritis mengusir penjajah yang saat itu menjajah Indonesia, mereka membuat perlawanan di sana sini demi terwujud nya satu misi yaitu Indonesia merdeka.
Peringatan hari – hari pahlawan merupakan bukti yang nyata yang harus kita lakukan agar senantiasa terpupuk dalam diri kita sikap kepahlawanan yang tinggi, Memperingati hari pahlawan adalah hal yang sangat di butuhkan oleh setiap anak bangsa, namun mereka jangan di sibukkan dengan momen itu sendiri dan lupa terhadap nilai – nilai yang terkandung di dalam nya.
Peringatan hari pahlawan 10 November juga dinilai sebagai momentum terbaik untuk merevitalisasi nilai – nilai kepahlawanan yang akhir – akhir ini cenderung mulai memudar di hati anak bangsa. Kita perlu mengenang jasa – jasa para pahlawan, namun kita jangan terjebak dengan ritual – ritual perayaan yana akhirnya menghapus nilai- nilai patriotik dalam diri kita.
Sesungguhnya hal yang sangat di harapkan dalam peringatan 10 November adalah agar kita semua tidak salah dalam mengartikan inti dari sikap kepahlawanan dalam rangka membentuk karakter bangsa yang kokoh yang, berdaulat serta yang bermartabat di mata dunia. Karena menjadikan bangsa yang berkarakter itu tidak akan semudah membalikkkan telapak tangan melainkan di butuhkan semangat juang yang tinggi dalam setiap individu nya untuk berkembang dan melakukan perubahan.
Pemerintah harus seide, seirama dan bijak dalam menyampaikan makna yang sesungguhnya dari sikap kepahlawanan karena semakin lama sikap kepahlawanan semakin terdegradasi oleh zaman yang semakin berkembang, namun kalau terus menerus terdegradasi maka tidak menutup kemungkinan bahwa suatu saat nilai kepahlawanan itu akan hilang. Dan apabila nilai kepahlawanan itu menghilang maka tidak di herankan
lagi cita – cita untuk menjadikan bangsa yang berkarakter merupakan mimpi yang tidak akan pernah terwujud “Impossible Dream".
Seperti halnya kita melihat perjuangan Sokarno-Hatta dengan sikap kepahlawanan yang mereka miliki mereka memilih hidup atau mati dalam melakukan pertempuran mengusir penjajah. Padahal kalau mereka mau, mereka bisa mendapatkan pendidikan yang layak dari Belanda daripada menghabiskan waktu di penjara karena berbagai aksi pergolakan yang beliau lakukan.
Itu semua mereka lakukan karena apa? Karena memang mereka berjuang dengan hati, mereka memilih berkorban untuk seluruh rakyat agar memiliki bangsa yang bermartabat, memiliki bangsa yang maju dan berdaulat. Soekarno – Hatta dan yang lainnya mereka berjuang bukan untuk pribadi nya, tetapi untuk rakyat. Mereka adalah kaum intelektual yang mempunyai pemikiran – pemikiran yang spektakuler untuk kemakmuran rakyat.
Akan tetapi sungguh sangat disayangkan untuk saat sekarang ini sosok Soekarno – Hatta nyaris hilang, sementara makna kepahlawanan pun tidak bisa dirasakan lagi dan dianggap tabu untuk di perbincangkan.
Akibatnya peringatan 10 November sebagai hari pahlawan hanya sekedar seremonial dan formalitas saja yang di kelola oleh lembaga – lembaga yang bersangkutan, dan tidak memberikan sebuah arti dan kesan yang mendalam terhadap fenomena – fenomena perjuangan yang penuh dengan air mata darah demi tercapai nya sebuah bangsa yang merdeka. Yang memprihatinkan lagi, kini mulai banyak orang merasa peringatan momentum kepahlawanan telah menjadi seremoni yang menjebak kita semua dalam rasa nostalgia yang palsu di negeri 1001 seremoni ini.
Malam tirakatan di taman makam pahlawan jarang membawa kita pada pencerahan sejati. Sebab, begitu semua kegiatan dan seremoni usai, tidak pernah ada langkah berikutnya yang bermakna.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 itu merupakan bukti dan hasil dari jerih payah para pahlawan dalam melakukan perjuangan. Maka sudah sepatutnya bagi kita untuk mensyukuri dan menjaga nya agar tetap hidup dan berjalan sesuai dengan komitmen – komitmen yang telah disepakati bersama.
Penumbuhan sikap heroisme atau jiwa kepahlawanan dalam diri bangsa Indonesia sangat penting. Mengingat makin banyaknya tantangan di Era Globalisasi yang semakin merajai dunia. Akan tetapi bangsa ini tengah menghadapi bahaya disebabkan karena minimnya apresiasi terhadap kontribusi para pahlawan. Bangsa ini seakan lupa terhadap kisah perjuangan masa lalu nya yang begitu sulit. Semuanya terjebak dalam nostalgia palsu yang hanya bisa mengandalkan kekuasaan sebagai kekuatan utama untuk hidup dan menjalani kehidupan.
Padahal, tanpa adanya pengorbanan para pahlawan, impian untuk hidup bersama dalam kerukunan, kedamaian, dan kemakmuran tidak akan menjadi kenyataan. Sepi nya refleksi terhadap sikap kepahlawanan dari Sumatra, Kalimantan, hingga Papua menjerit karena justru dijajah sesama anak bangsa yang berkolaborasi dengan modal asing.
Tidak heran jika ada celetukan "Lebih enak dijajah Belanda daripada dijajah sesama anak bangsa". Kekayaan negeri ini dicoba dikuras sampai setuntas-tuntasnya. Moto “merdeka atau mati" yang dulu disuarakan para pahlawan dianggap sudah basi. Semangat atau jiwa kepahlawanan benar-benar sudah terkikis habis.Dengan ideologi pasar bebasnya di zaman era globalisasi ini, orang pun terseret ke dalam dunia nafsu mereka, mereka mencari kemenangan tersendiri, karena sikap egosentris yang ada dalam diri mereka itu, maka tidak usah kita herankan orang yang menempati kursi birokrasi sekarang berjiwa opportunis, sehingga korupsi pun terjadi dimana – mana.
Kebanyakan mereka tidak mau bersolider dan berbagi empati seperti para pahlawan kita dahulu. Jiwa altruistis para pahlawan berganti menjadi jiwa egosentris. Kerusakan moral pun bisa kita saksikan di semua level kehidupan kita sebagai bangsa.
Tak salah jika penyair Taufiq Ismail pun berujar, “Malu aku jadi orang Indonesia”. Kita yang masih memiliki nurani dan kejujuran boleh jadi akan sependapat dengan beliau. Betapa bangsa ini, di usianya yang tidak lagi muda, sungguh tidak punya rasa hormat terhadap pengorbanan para pahlawan. Atau kalau toh ada rasa hormat, itu tak lebih hanya lip service nya saja.
Dikaitkan dengan permasalahan bangsa seperti disebutkan tadi, masih sangat dibutuhkan para pahlawan. Untuk itu, jiwa kepahlawanan dalam diri kita perlu direvitalisasi atau dihidupkan lagi untuk membentuk membentuk bangsa yang berkaraktar serta melawan korupsi, praktik pembalakan liar, kemiskinan, kebodohan, dan permasalahan bangsa lainnya.
Dan kalau saja kita semua mau untuk merevitalisasikan nilai – nilai kepahlawanan dalam diri kita, tentu saja akan lahir semangat baru dalam membangun negara. Paling tidak akan muncul Soekarno – Soekarno dan Hatta – Hatta yang modern yang kelak akan mengantarkan negeri ini pada kemakmuran.
Akhirnya, jika kita sungguh menghargai pahlawan dan kembali berani menghidupkan jiwa kepahlawanan dalam diri masing-masing, tentu saja segala praktik tak terpuji harus segera diakhiri dan di tuntaskan.
Dengan demikian, bangsa ini bisa bangkit sebagai bangsa yang punya martabat, bukan jadi bangsa pecundang yang terus menjadi bulan-bulanan, kaum kapitalis.