Ngopi yok ke Minasatene? Bukan promosi tapi janji bertemu disana yah, sama-sama kita mencari Tuhan! Dibaca, yah!

Table of Content

Ketika Stres Akademik Mahasiswa Memicu Autoimun


Bayangkan ini: ketika kamu sedang asyik nongkrong di Food Court ASEEC Unair, namun pikiranmu kacau ke mana-mana. Tugas-tugas kuliah dari dosen menumpuk, coretan revisi cakar ayam dari dosen pembimbing yang sulit dimengerti (lupa merekam suara, lengkap), dan deadline yang semakin dekat. Pastinya, pusing dan stres menjadi tidak terhindarkan.

Banyak mahasiswa pasti merasakan hal ini, mungkin termasuk kamu yang sekarang masih kuliah atau pernah mengalaminya saat kuliah.

Harapan tinggi dan ambisi membara sering kali bertabrakan dengan kenyataan. Stres akademik membuat mahasiswa merasa seperti berada di roller coaster tanpa ujung. Tekanan untuk berprestasi dan kecemasan tentang masa depan juga menjadi hantu yang terus mengintai.

Stres akademik tidak hanya membuat pusing tujuh keliling, tetapi juga dapat membuka jalan bagi munculnya penyakit autoimun yang siap menyerang kapan saja. Gawat, bukan?

Sebagai informasi, autoimun adalah kondisi di mana sistem kekebalan tubuh menyerang sel-sel tubuh sendiri (kekeliruan sistem imun), dan stres kronis telah lama dikenal sebagai salah satu pemicunya. Yang sering kita dengar seperti radang sendi (Artritis Reumatoid), diabetes tipe-1, dan multiple sclerosis.

Kapan Fenomena ini terjadi?

Sebenarnya, fenomena ini bukan menjadi hal yang sangat mengejutkan dikalangan mahasiswa, mengingat semakin tingginya tekanan akademik dalam kehidupan kampus. Fenomena ini mulai marak dibahas kembali pada tahun 2020 di kampus dimana mahasiswa berkuliah dengan banyak perubahan sejak munculnya pandemi COVID-19. Secara tiba-tiba, mahasiswa diminta untuk melakukan pembelajaran daring, yang ternyata membuat tingkat stres mahasiswa semakin parah. 

Sudah banyak penelitin di kampus yang membahas fenomena ini, salah satunya di Universitas Jambi yang mencoba mengulik gambaran tingkat stres akademik mahasiswa dalam menyelesaikan tugas akhir skripsi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa 89,6% mahasiswa mengalami stres akademik sedang dan 7,3% tingkat stres tinggi, sementara sebagian besar responden menunjukkan tanda-tanda stres dari pemaksaan diri  dan reaksi terhadap perilaku (Yuda, M. P., Mawarti, I. and Mutmainnah, M. 2023).

Tentunya, fenomena ini tidak hanya terjadi di satu universitas seperti di beberapa jurusan Universitas Jambi saja, melainkan dapat terjadi dikampus atau jurusan mana-mana saja.

Mengapa ini Terjadi?

Untuk mengulik lebih dalam, stres akademik pada mahasiswa sebenarnya disebabkan oleh berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Dari sisi internal, mahasiswa menghadapi tekanan untuk mencapai prestasi akademik yang tinggi, sering kali diiringi oleh pola pikir yang perfeksionis dan koping yang tidak adekuat. Dari sisi eksternal, cara dosen mengajar, jadwal perkuliahan yang padat, dan relasi pertemanan yang tidak mendukung juga bisa menjadi pemicu utama stres.

Pakar Psikologi Pendidikan Universitas Airlangga, Dr. Nur Ainy Fardana M.Si dalam laman detik edu menyatakan tekanan akademik yang menerpa mahasiswa bisa mengakibatkan depresi, kecemasan, stress, gangguan makan, gangguan tidur, isolasi sosial, penurunan rasa percaya diri, hingga paling parah timbul keinginan bunuh diri.

Studi meta-analitik oleh Segerstrom dan Miller (2004) dalam Psychological Bulletin menemukan bahwa stres psikologis menurunkan fungsi sel NK (natural killer) dan sel T di bawah pengaruh glukokortikoid melalui jalur GR (glucocorticoid receptor) dan modulasi ekspresi gen target melalui jalur MAPK dan NF-κB.

Penelitian lain oleh Glaser dan Kiecolt-Glaser (2005) dalam Nature Reviews Immunology menjelaskan berbagai mekanisme molekuler yang menghubungkan stres psikologis dengan disfungsi imun, termasuk jalur pensinyalan yang terlibat dalam respon inflamasi. Stres psikologis meningkatkan aktivitas jalur NF-κB melalui aktivasi reseptor adrenergik dan pelepasan glukokortikoid, yang mengarah pada peningkatan produksi sitokin pro-inflamasi seperti IL-6, TNF-α, dan IL-1β.

Konsekuensi Produksi Sitokin dan Jalur Respon pada Tubuh

Produksi sitokin yang meningkat dalam kondisi stres kronis dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan. Sitokin pro-inflamasi seperti IL-6, TNF-α, dan IL-1β menjadi aktor penting dalam merespon infeksi dan cedera, tetapi ketika diproduksi secara berlebihan, mereka dapat menyebabkan peradangan kronis dan kerusakan jaringan.

Cerita Sederhananya:

Di antara deru kehidupan yang tak kunjung berhenti, tubuh mahasiswa sering kali bagaikan mesin yang dipacu tanpa henti. Stres kronis, layaknya bayang-bayang yang selalu mengikuti, memberikan tekanan yang tiada henti pada sistem saraf simpatik, memicu pelepasan hormon stres seperti kortisol. Hormon ini, yang sejatinya adalah penjaga keseimbangan dalam menghadapi ancaman, berubah menjadi pedang bermata dua ketika produksinya melampaui batas kewajaran. Dalam keriuhan hormon ini, sitokin pro-inflamasi seperti IL-6, TNF-α, dan IL-1β bangkit dari dormansinya. 

Mereka, yang pada awalnya adalah prajurit setia dalam melawan infeksi dan cedera, berubah menjadi pemberontak yang tak terkontrol. Ketika tubuh dibanjiri oleh mereka, peradangan kronis menjadi sebuah keniscayaan, menyerang jaringan tubuh tanpa ampun, merusak dan memicu rangkaian penyakit kronis seperti jantung, diabetes, dan kanker. 

Stres yang mendarah daging ini juga menanamkan benih-benih pengkhianatan dalam sistem imun. Produksi berlebih dari sitokin pro-inflamasi menggoyahkan keseimbangan yang rapuh, membuat tubuh menyerang dirinya sendiri dalam sebuah tragedi autoimun. Lupus, rheumatoid arthritis, dan multiple sclerosis adalah buah pahit dari pengkhianatan ini. Tak berhenti di situ, sitokin pro-inflamasi ini menyusup ke dalam benteng pikiran, mengacaukan fungsi otak dan neurotransmisi.

Depresi dan gangguan mental lainnya menjadi sahabat karib dari mereka yang tak mampu melepaskan diri dari cengkeraman stres kronis. Mood yang berubah-ubah, perilaku yang tak menentu, semuanya adalah bagian dari skenario kelam yang dimainkan oleh para sitokin ini. Dan akhirnya, sistem imun yang sejatinya adalah tameng pertahanan terakhir, mulai runtuh. Peningkatan sitokin pro-inflamasi yang konstan melemahkan benteng ini, membuat tubuh semakin rentan terhadap serangan patogen dari luar.

Dalam jangka panjang, tubuh yang seharusnya kuat dan tangguh, berubah menjadi lemah dan rapuh. Demikianlah, dalam tarian yang penuh dengan ironi dan tragedi ini, stres kronis memainkan peran utama. Ia adalah sutradara yang tak terlihat, mengarahkan tubuh menuju kehancuran yang lambat namun pasti, menyisakan jejak-jejak penderitaan di setiap langkah.

Penyakit Autoimun Menghantui Mahasiswa

Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) adalah salah satu penyakit autoimun yang dapat dipicu oleh stres psikologis. Hormon kortisol yang dilepaskan selama masa stres dapat mengganggu sistem kekebalan tubuh, meningkatkan risiko flare-up pada penderita lupus. 

Artritis Reumatoid (RA) juga termasuk dalam daftar penyakit yang dipengaruhi oleh stres kronis. Stres dapat meningkatkan produksi sitokin inflamasi yang berperan dalam patogenesis RA, memperparah kondisi peradangan pada sendi.
Selain itu, penyakit tiroid autoimun, seperti Graves’ dan Hashimoto, dapat dipicu oleh stres. Stres mempengaruhi fungsi tiroid melalui mekanisme imunologis dan hormonal dan dapat meningkatkan risiko perkembangan dari penyakit ini. Demikian juga, penyakit Celiac, yang disebabkan oleh reaksi imun terhadap gluten, memperburuk dirinya dalam kasus stres berat. 

Selain itu, Diabetes Tipe 1, di mana tubuh menyerang sel-sel penghasil insulin di pankreas, juga mampu mempengaruhi stres mahasiswa. Anak-anak usia remaja dan dewasa muda dapat memiliki risiko diabetes tipe 1 meningkat karena stres psikologis yang disebabkan oleh respons imun yang abnormal.

Stres Bukan Akhir Segalanya

Stres akademik adalah kenyataan yang tak terelakkan dalam kehidupan mahasiswa. Namun, pemahaman yang lebih baik tentang dampaknya terhadap kesehatan, terutama dalam konteks penyakit autoimun, bisa membantu kita mengambil langkah-langkah preventif yang diperlukan. 

Kampus harus menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan mental dan fisik mahasiswa. Hanya dengan begitu, kita bisa memastikan bahwa masa depan generasi muda tidak terancam oleh bayang-bayang penyakit yang menghantui kehidupan mereka.

Di balik prestasi akademik yang gemilang, ada perjuangan berat yang sering kali tidak terlihat. Perjuangan melawan stres yang bisa merusak kesehatan fisik dan mental. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk memberikan perhatian lebih pada kesehatan mahasiswa, tidak hanya dari sisi akademik, tetapi juga dari sisi kesejahteraan holistik mereka.

Referensi:

  • Glaser, R. and Kiecolt-Glaser, J. K. (2005) ‘Stress-induced immune dysfunction: implications for health’, Nature Reviews Immunology, 5(3), pp. 243–251. doi: 10.1038/nri1571.
  • Segerstrom, S. C. and Miller, G. E. (2004) ‘Psychological Stress and the Human Immune System: A Meta-Analytic Study of 30 Years of Inquiry.’, Psychological Bulletin, 130(4), pp. 601–630. doi: 10.1037/0033-2909.130.4.601.
  • Yuda, M. P., Mawarti, I. and Mutmainnah, M. (2023) ‘Gambaran Tingkat Stres Akademik Mahasiswa Dalam Menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi Di Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi’, Pinang Masak Nursing Journal, 2(1), pp. 38–42. Available at: https://online-journal.unja.ac.id/jpima/article/view/27092/16089.
*Karya ini diikutkan dalam pekan Airlangga Data Journalism Competition 2024 kategori mahasiswa Universitas Airlangga.

Posting Komentar